·
PADA batas tertinggi pemahaman terhadap
eksistensi Ilahiah, nalar akan berubah gamang kehilangan gravitasi dan
distinasinya. Bahkan juga hampa ruang, durasi, bentuk dan wujudnya. Fatamorgana
kecemerlangan berpikir di cakrawala metafisika, ikut terpuruk jatuh di sangkar
keresahan jutaan tanda tanya yang mustahil terjawab dan teranalisa.Oleh dahaga kerinduan kepada pencarian wujud Sang Pencipta, Abu Yazid al-Bisthami berenang jauh di samudra luas ilmu Ketuhanan yang tak henti menggetarkan garpu penala bening pikiran dan kalbunya. Dialah Sang Sufi yang hatinya tak pernah terusik oleh apa yang dilihat oleh matanya, dan tak pernah terganggu oleh apapun yang terdengar di telinganya. Namun Ulama besar Persia kelahiran Khurasan yang lebih 30 tahun bertualang di padang pasir Syria ini kemudian menyentakan kita, tatkala di penghujung pencarian panjangnya berkata, Tiada Tuhan selain Aku. Akulah Allah Sang Maha Pencipta.
Abu Yazid telah tenggelam dan sirna di dalam ke-Esa-an Ilahi. Al-wahidul ahad. Jangan mendebat dia. Karena di sini, nalar telah kehilangan gravitasi dan distinasinya. Kefasihan dialog metafisis telah tergiring dan terpasung di sangkar sampah tanda tanya yang tak bakal terjawab dan teranalisa logika biasa.
Kita berada pada maqam (tingkat pemahaman) dan latar tataran pengetahuan yang berbeda dengan Sang Sufi. Abu Yazid mungkin seperti ketika Will Durant mengartikan makna filsafat dalam buku terkenalnya The Story of Pholosophy. Atau seperti paparan teramat ruwet mengenai theorema dari Heraclitus, Si Failusuf dari Kegelapan yang menyengat kepala. Yang ingin dikemukakan di sini hanya tentang pilihan zikir yang telah diambil oleh seseorang yang bernama Abu Yazid.
Setiap manusia dalam kesehariannya, sadar atau tidak, memang selalu tenggelam dalam zikir yang panjang. Seperti daun, pepohonan, angin, gunung dan seluruh alam yang kodratnya senantiasa berzikir memuja keagungan Sang Pencipta. Hanya saja zikir setiap manusia berbeda. Ada yang tenggelam dalam wujud zikir yang mengawinkan tujuan Akhirat dan dunia, juga ada yang memilih salah satu di antara keduanya. Abu Yazid memilih zikir yang semata melisankan tauhid dan mengisyaratkan keabadian.
Sementara Zikir dunia, adalah ketika batin terkonfigurasi ke dalam bangun strategi yang lebih terarah kepada tujuan yang semata bersifat duniawi. Golongan Penzikir jenis ini, akan selalu bangun dan tidur dalam bayang pesona pelangi angan-angan dan ambisi. Bagi dia, harta dan kedudukan adalah wujud kehormatan yang menggetarkan hati. Sesuatu yang lebih lekat di bibir dan sanubari.
KITA adalah Para Penzikir yang kadang tidak sadar, setiap harinya sedang menzikirkan apa. Kita juga mungkin tak sadar, kegelisahan yang didorong ambisi duniawi, selalu merangsang sistem saraf otonom di dalam tubuh yang selanjutnya menggetarkan kelenjar adrenal dengan dampak kepada penegangan prilaku tersembunyi, yang mudah menafikan batas-batas moral dan dinding etika.
Setiap orang senantiasa berzikir dalam berbagai bentuk dan versinya. Tapi sebagian terbesar dari kita, cendrung hanya menzikirkan dunia. “Mereka yang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah,” kata Abu Yazid.
Tapi bagaimana mungkin bisa berpaling jika kita memang tak pernah mau tahu bahwa ini jalan yang salah? Dalam situasi demikian, nalar dan logika memang sedang kehilangan gravitasi, durasi dan distinasinya. Kefasihan dialog metafisis setinggi apapun, akan tetap hilang gaung dan makna. Kita akan tetap menjadi orang-orang yang terpana. Mungkin seperti saat mendengar Abu Yazid memekik “Akulah Allah Sang Maha Pencipta” Kita gelap mata dan tidak tahu apa-apa. Kita sedang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah.
oleh Muhammad Akil Musi pada 27 Juni 2009 pukul 7:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar