Entri Populer

Minggu, 17 Juni 2012


 
by Muhammad Akil Musi on Nov.22, 2009, under

Terorisme dalam sejarah manusia telah menjadi sebuah persoalan serius bangsa-bangsa di dunia. Efek aksi-aksi terorisme menunjukkan sebuah fakta penghancuran yang ditandai dengan jatuhnya korban jiwa yang tidak berdosa. Terorisme sedemikian rupa telah identik dengan kekerasan yang membenamkan rasa kemanusiaan.


Tragedi World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 merupakan contoh mutakhir kegarangan teroris dalam menjalankan aksinya. Dunia internasional tidak menyangka begitu mudahnya teroris meruntuhkan kokohnya WTC sebagai simbol kekuatan Amerika Serikat sebagai polisi dunia. Intelijen Amerika sebagai intelejen tercanggih di dunia dibuat kecolongan dan tak bisa berbuat banyak untuk menangkal aksi-aksi terorisme. Salah satu tempat yang dianggap steril pun yaitu Pentagon sebagai markas militer yang dimiliki Amerika Serikat juga dapat ditembus oleh serangan teroris.Tulisan ini menganalisa perilaku ideologi dan teologi teroris yang dikaji dari sebuah buku yang berjudul: Origin of Terorisme karya Reich Walter. Aspek yang dikaji dalam tulisan ini adalah sikap ideologi dan teologi terorisme dan penulis mencoba "menggugat" secara intelektual sejauh mana kebenaran atas prinsip teroris tersebut dalam perspektif yang lebih edukatif.

Tulisan ini paling tidak akan memberikan satu perspektif untuk menggugat perilaku teroris dengan suatu kearifan intelektual atas sikap fundamental yang selama ini mengatas namakan kebenaran dalam setiap aksinya. Untuk memberikan gambaran tentang uraian ini maka dibuat dalam sistematika dengan memahami ideologi, teologi dan sikap para teroris dan kemudian memberikan analisa intelektual sebagai bentuk tanggapan intelektual terhadap apa yang disebutnya sebagai pembenaran.

terima kasih

Terima kasih tak terhingga kepada Muhammad Akil Musi. Seseorang yang selalu menjadi inspirasi kapanpun dan di manapun ia berada. Mudah-mudahan segala ilmu yang telah ia berikan dapat ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan semoga Ia selalu dalam lindungan Allah SWT. Aku tak tau jadi seperti apa nantinya aku jika tidak bertemu dengan orang seperti Ia.

17 Juni 2012
15.15 WITA

aku, sedikit kepercayaan diriku dan penuh kesoktahuanku


Tepatnya di malam minggu ketika aku sedang jalan-jalan  di salah satu sudut kota angin mammiri. Karena keasikan berjalan membuat perutku mulai anarkis dan berontak sehingga tak mampu lagi diatasi walaupun rasionalisasi sekaliber otakku (ini menunjukkan betapa bodohnya aku).  Akhirnya jalan lobipun ditempuh untuk mengatasi permasalahan perut ini dengan mencari tempat makan.
Kususuri sepanjang jalan pengayoman, tiba-tiba mataku tertuju di tempat yang berada di depan deretan sebuah ruko. Tampak banyak pengunjung di tempat itu dan tepat di depannya tertulis Nasi Kucing khas Jogja. Pikirkanku kemudian tertuju tak kala aku berada di depan Masjid Istiqlal dua tahun yang lalu. Di depan masjid itu aku pernah mencicipi sepiring nasi kucing untuk pertama kalinya denga harga yang murah. Lalu, aku bertanya dalam hati “mungkingkah harga nasi kucing di tempat ini sama dengan harga nasi kucing yang pernah kumakan di depan Masjid istiqlal dulu?”
Sekedar mengobati rasa penasaran itu, akhirnya aku memutuskan untuk singgah. Kuhampiri gerobak penjual itu dengan sedikit rasa percaya diri dan penuh kesoktahuan (karena memang sebelumnya sudah pernah makan walaupun sekali).
Aku        : mas, pesan dua…
Mas       : makan di sini atau bungkus?
Aku        : makan di sini mas
Mas       : kalo gitu mas ambil sendiri saja (sambil menyodorkan piring kecil)
Mulailah aku memilih tiap menu yang disediakan. Kuambil dua tusuk ayam, hati, dan sosis serta dua tusuk mirip telur tapi ukurannya kecil (makanan inilah yang membuatku dari tadi penasaran untuk kucoba). Setelah memilih, kuserahkan menu tadi kepada mas untuk dipanaskan (karena keadaanya memang sudah menggigil). Kemudian mas memberiku dua bungkus nasi dan mempersilahkanku duduk paling pojok. Tapi sebelum itu mas bertanya padaku, “mas mau minum apa?’,  “es teh saja mas”, jawabku sambil melihat daftar harga minuman.
Tak lama menunggu di pojokan tempat itu, makanan yang telah kupilih akhirnya datang juga. Tanpa menunggu lama, langsung kuambil makanan berbentuk telur yang dari tadi membuatku penasaran dan ternyata memang rasanya seperti telur.  Ditengah keasikanku berfantasi bersama nasi  kucing yang kumakan, tiba-tiba saya mendengar percakapan dua orang pemuda dengan logat khas jawa yang juga sedang asyik menikmati makanannya.  Tidak bermaksud untuk memoton kemudian aku masuk ke pembicaraan mereke dan bertanya kepada keduanya.
Aku                        : orang jawa ya?
Pemuda               : iya mas..
Aku                        : jogja?
Pemuda               : bukan, Solo mas. Katanya
Belum sempat melanjutkan pertanyaan, pemuda itu balik bertanya padaku
Pemuda               : mas baru makan di sini ya?
Aku                        : iya mas…
Pemuda               : kalo kami sering makan di sini, habis harganya murah
Aku                        : ooo.. gitu mas. Tadi kebetulan lewat karena penasaran akhirnya saya singgah..
Pemuda               : dulu waktu jama masih kuliah, sekitar tahun 2000an kalo punya uang 5000 rupiah udah   
  puas kita mas.. paling untungnya cuma di harga minumannya.
Aku                        : pantas harga minumannya mahal (dalam hati)
Setelah percakapan yang panjang, kedua pemuda itu pamit (karena memang makananya dari tadi sudah habis). Kemudian aku kembali berfantasi dengan makanan yang dari tadi menunggu untuk dihabisi. Lalu, setelah makan aku langsung menuju kasir dan menayakan harga yang harus di bayar.
Aku        : berapa mas?
Mas       : mas makan berapa bungkus nasi?
Aku        : dua mas
Mas       : 32 ribu rupiah mas (sambil mengutak atik kalkulatornya)
Aku        : ngek (dalam hati)
Inikah yang dimaksud murah oleh dua pemuda tadi yang hanya seharga 5000 rupiah waktu masih kuliah? Denga rasa tidak ikhlas kuserahkan enam lembar Imam Bonjol dan satu lembar Pangeran Antasari kepada kasir itu. Aku melihat tangan Imam Bonjol dan Pangeran Antasari melambaikan tangan yang juga tak merasa ikhlas diberikan kepada kasir itu.
Sepanjang jalan pulang, yang terpikir dibenakku adalah harga nasi kucing yang tadi telah kumakan. Sesekali aku menertawai sedikit percaya diri dan penuh kesoktahuanku makan di tempat itu. Merasa tidak ikhlaspun tidak ada gunanya karena makanan itu telah masuk ke dalam perutku, dan telah memberiku energi untuk pulang ke rumah. Bersamaan dengan itu, deru angin mammiri yang mnerpaku juga ikut menerbangkan rasa tidak ikhlasku…
17 Juni 2012
Kutulis setelah aku, sedikit kepercayaan diriku dan penuh kesoktahuanku makan di  tempat jualan nasi kucing pinggir jalan…

Sabtu, 16 Juni 2012

Aku Tak Suka Pizza


Teman-teman di lantai empat memangilku makan pizza… ya, pizza yang mereka beli di luar waktu jam bertugas sedang berlangsung. Mereka terus memanggilku sembari memperlihatkan pizza yang mereka beli. Aku hanya berbalik dan tersenyum , lalu berkata “tidak”. Tak puas memanggilku, mereka membawa pizza itu turun ke lantai tiga tempatku berada dan meletakkannya di atas meja lalu kemudian pergi. Aku terus menatap pizza yang berada di atas meja itu dan berkata “Aku Tak Suka Pizza”…….
Rusunawa, 16 juni 2012
15.10

Limbong


Limbong,,, berjalan naik turun melewati tangga…
Ia lewat di lantai tiga tempat ku berada….
Ketika turun ia menyapa dengan senyuman,
Begitu pula ketika ia naik kembali, ia menyapa dengan menyebut namaku
“Ka’ Anto………”, dengan suara yang kembut…..


Rusunawa, 16 Juni 2012
Kutulis saat aku cape’ melihat Limbong naik turun tangga
14.10 WITA

hadian yang kau inginkan


Sehari lagi Tiny akan berulang tahun. Dan itu berarti hanya tersisa 24 jam untuk memikirkan hadiah apa cocok kuberikan kepadanya. Bingung,,,,,, jika kutanya hadiah apa yang  yang ia inginkan, mungkin ia akan malu-malu untuk menyebutkannya. Tapi tetap harus kuberaniikan diri untuk menanyakannya.
“Kau ingin hadiah apa dariku?”. Sebuah jawaban terlontar dari mulutnya dan tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. “ Saya hanya ingin kau menyayangiku. Hanya itu saja yang aku inginkan darimu”.

Rusunawa, 17 Juni 2012
Kutulis menjelang hari ulang tahun Tiny.. Suhartini

bangun telat


Pagi ini aku bangun telat. Telat lima menit dari hari-hari sebelumnya. Memang di hari-hari sebelumnya aku selalu bangun telat. Tapi pertama kalinya aku telat lima menit dari waktu telatku sebelumnya. Karena telat, aku bergegas mengambil perlengkapan mandiku dan menuju ke suatu tempat yang dindingnya bertuliskan WC Pria.
Dalam perjalanan menuju WC, selalu terbayang dalam pikiranku mengapa aku selalu bangun telat? “Mungkin Karena telat tidur”, kata diriku d sisi yang lain. Kemudian sisi yang satu bertanya lagi, knapa aku selalu telat tidur? Dengan rasa percaya diri sisi yang lain menjawab, “ya karena kamu telat bangun”. Begitu hebatnya diskusi Tanya jawab antara dua sisi membuat ku tak sadar bahwa ternyata aku telah selesai mandi. Sekarang yang menjadi pertanyaan besarku adalah apakah aku memakai sabun dan shampoo ketika aku mandi???

Jubah Kemuliaan

KETIKA kehormatan bersumber dari atribut, maka distansi antara kemuliaaan dengan kehinaan, hanya terpisahkan oleh selapis tabir yang teramat tipis. Kehormatan diri, hanya berjarak selangkah dengan kenistaan.

“Tuhan mengukur kemuliaan dan kehormatan manusia dari ketakwaan kepada-Nya. Dan sifat takwa itu sendiri mencerminkan wujud kecemerlangan akal budi manusia, tidak hanya sebatas dalam makna hubungan secara vertikal dengan Sang Maha Segala, tetapi juga dalam konteks sesama insan dan seluruh alam semesta,” kata al-Sybli. Dia ingin menegaskan bahwa ketika Tuhan menyatakan keimanan kepada-Nya sebagai ukuran kesejatian harkat kehormatan dan kemuliaan seseorang, maka setiap manusia harus mempercayainya terlebih dahulu, sebelum kemudian memahaminya secara rasio maupun empirik. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa menerima pemikiran bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang justru hanya bergantung kepada selembar jubah jabatan? Yang pada saat Sang Jubah kotor atau hilang, maka Si Empunya harus terpuruk dalam kehinaan? Bukankah itu menantang kehendak Tuhan? 





oleh Muhammad Akil Musi pada 27 Juni 2009 pukul 7:28 ·




DIANTARA DUA TERMINAL


Disuatu ketika saya naik metro. Diterminal Blok M semua penumpang turun. Kecuali saya yang masih sms-an dan salah seorang penumpang dibelakangku yang nampak pulas sekali. Kondektur berusaha membangunkannya krn memang "wajib" turun. Tapi ia tak bergeming, bahkan sang kondektur pun harus menyertai teriakan khas. Masya Allah...ternyata ia meninggal. Aku yang menyaksikan jelas terpaku dalam diam..sebegitu dekatnya distansi hidup dgn kematian. Ia telah "tiba" didua terminal sekaligus, Terminal Blok M dan Terminal kehidupan. Biaya menuju kematian hanya 2000 perak, sementara banyak diantara manusia harus membayar kematian yang sedemikian mahal (Kejadian ini tepatnya Jumat, 1/7/2011).

oleh Muhammad Akil Musi pada 13 Juli 2011 pukul 15:36 ·