Tepatnya di malam
minggu ketika aku sedang jalan-jalan di
salah satu sudut kota angin mammiri. Karena keasikan berjalan membuat perutku
mulai anarkis dan berontak sehingga tak mampu lagi diatasi walaupun
rasionalisasi sekaliber otakku (ini menunjukkan betapa bodohnya aku). Akhirnya jalan lobipun ditempuh untuk
mengatasi permasalahan perut ini dengan mencari tempat makan.
Kususuri sepanjang
jalan pengayoman, tiba-tiba mataku tertuju di tempat yang berada di depan
deretan sebuah ruko. Tampak banyak pengunjung di tempat itu dan tepat di
depannya tertulis Nasi Kucing khas Jogja. Pikirkanku kemudian tertuju tak kala
aku berada di depan Masjid Istiqlal dua tahun yang lalu. Di depan masjid itu
aku pernah mencicipi sepiring nasi kucing untuk pertama kalinya denga harga
yang murah. Lalu, aku bertanya dalam hati “mungkingkah harga nasi kucing di
tempat ini sama dengan harga nasi kucing yang pernah kumakan di depan Masjid
istiqlal dulu?”
Sekedar mengobati rasa
penasaran itu, akhirnya aku memutuskan untuk singgah. Kuhampiri gerobak penjual
itu dengan sedikit rasa percaya diri dan penuh kesoktahuan (karena memang
sebelumnya sudah pernah makan walaupun sekali).
Aku : mas, pesan dua…
Mas : makan di sini atau bungkus?
Aku : makan di sini mas
Mas : kalo gitu mas ambil sendiri saja (sambil
menyodorkan piring kecil)
Mulailah aku memilih
tiap menu yang disediakan. Kuambil dua tusuk ayam, hati, dan sosis serta dua
tusuk mirip telur tapi ukurannya kecil (makanan inilah yang membuatku dari tadi
penasaran untuk kucoba). Setelah memilih, kuserahkan menu tadi kepada mas untuk
dipanaskan (karena keadaanya memang sudah menggigil). Kemudian mas memberiku
dua bungkus nasi dan mempersilahkanku duduk paling pojok. Tapi sebelum itu mas
bertanya padaku, “mas mau minum apa?’, “es
teh saja mas”, jawabku sambil melihat daftar harga minuman.
Tak lama menunggu di pojokan
tempat itu, makanan yang telah kupilih akhirnya datang juga. Tanpa menunggu
lama, langsung kuambil makanan berbentuk telur yang dari tadi membuatku
penasaran dan ternyata memang rasanya seperti telur. Ditengah keasikanku berfantasi bersama
nasi kucing yang kumakan, tiba-tiba saya
mendengar percakapan dua orang pemuda dengan logat khas jawa yang juga sedang asyik
menikmati makanannya. Tidak bermaksud untuk
memoton kemudian aku masuk ke pembicaraan mereke dan bertanya kepada keduanya.
Aku :
orang jawa ya?
Pemuda : iya mas..
Aku :
jogja?
Pemuda : bukan, Solo mas. Katanya
Belum sempat melanjutkan pertanyaan, pemuda itu balik bertanya padaku
Pemuda : mas baru makan di sini ya?
Aku :
iya mas…
Pemuda : kalo kami sering makan di sini,
habis harganya murah
Aku :
ooo.. gitu mas. Tadi kebetulan lewat karena penasaran akhirnya saya singgah..
Pemuda :
dulu waktu jama masih kuliah, sekitar tahun 2000an kalo punya uang 5000 rupiah
udah
puas kita mas.. paling untungnya
cuma di harga minumannya.
Aku :
pantas harga minumannya mahal (dalam hati)
Setelah percakapan
yang panjang, kedua pemuda itu pamit (karena memang makananya dari tadi sudah
habis). Kemudian aku kembali berfantasi dengan makanan yang dari tadi menunggu
untuk dihabisi. Lalu, setelah makan aku langsung menuju kasir dan menayakan
harga yang harus di bayar.
Aku : berapa mas?
Mas : mas makan berapa bungkus nasi?
Aku : dua mas
Mas : 32 ribu rupiah mas (sambil mengutak
atik kalkulatornya)
Aku : ngek (dalam hati)
Inikah yang dimaksud
murah oleh dua pemuda tadi yang hanya seharga 5000 rupiah waktu masih kuliah? Denga
rasa tidak ikhlas kuserahkan enam lembar Imam Bonjol dan satu lembar Pangeran
Antasari kepada kasir itu. Aku melihat tangan Imam Bonjol dan Pangeran Antasari
melambaikan tangan yang juga tak merasa ikhlas diberikan kepada kasir itu.
Sepanjang jalan
pulang, yang terpikir dibenakku adalah harga nasi kucing yang tadi telah
kumakan. Sesekali aku menertawai sedikit percaya diri dan penuh kesoktahuanku
makan di tempat itu. Merasa tidak ikhlaspun tidak ada gunanya karena makanan
itu telah masuk ke dalam perutku, dan telah memberiku energi untuk pulang ke
rumah. Bersamaan dengan itu, deru angin mammiri yang mnerpaku juga ikut
menerbangkan rasa tidak ikhlasku…
17 Juni 2012
Kutulis setelah aku, sedikit
kepercayaan diriku dan penuh kesoktahuanku makan di tempat jualan nasi kucing pinggir jalan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar