Entri Populer

Minggu, 17 Juni 2012

aku, sedikit kepercayaan diriku dan penuh kesoktahuanku


Tepatnya di malam minggu ketika aku sedang jalan-jalan  di salah satu sudut kota angin mammiri. Karena keasikan berjalan membuat perutku mulai anarkis dan berontak sehingga tak mampu lagi diatasi walaupun rasionalisasi sekaliber otakku (ini menunjukkan betapa bodohnya aku).  Akhirnya jalan lobipun ditempuh untuk mengatasi permasalahan perut ini dengan mencari tempat makan.
Kususuri sepanjang jalan pengayoman, tiba-tiba mataku tertuju di tempat yang berada di depan deretan sebuah ruko. Tampak banyak pengunjung di tempat itu dan tepat di depannya tertulis Nasi Kucing khas Jogja. Pikirkanku kemudian tertuju tak kala aku berada di depan Masjid Istiqlal dua tahun yang lalu. Di depan masjid itu aku pernah mencicipi sepiring nasi kucing untuk pertama kalinya denga harga yang murah. Lalu, aku bertanya dalam hati “mungkingkah harga nasi kucing di tempat ini sama dengan harga nasi kucing yang pernah kumakan di depan Masjid istiqlal dulu?”
Sekedar mengobati rasa penasaran itu, akhirnya aku memutuskan untuk singgah. Kuhampiri gerobak penjual itu dengan sedikit rasa percaya diri dan penuh kesoktahuan (karena memang sebelumnya sudah pernah makan walaupun sekali).
Aku        : mas, pesan dua…
Mas       : makan di sini atau bungkus?
Aku        : makan di sini mas
Mas       : kalo gitu mas ambil sendiri saja (sambil menyodorkan piring kecil)
Mulailah aku memilih tiap menu yang disediakan. Kuambil dua tusuk ayam, hati, dan sosis serta dua tusuk mirip telur tapi ukurannya kecil (makanan inilah yang membuatku dari tadi penasaran untuk kucoba). Setelah memilih, kuserahkan menu tadi kepada mas untuk dipanaskan (karena keadaanya memang sudah menggigil). Kemudian mas memberiku dua bungkus nasi dan mempersilahkanku duduk paling pojok. Tapi sebelum itu mas bertanya padaku, “mas mau minum apa?’,  “es teh saja mas”, jawabku sambil melihat daftar harga minuman.
Tak lama menunggu di pojokan tempat itu, makanan yang telah kupilih akhirnya datang juga. Tanpa menunggu lama, langsung kuambil makanan berbentuk telur yang dari tadi membuatku penasaran dan ternyata memang rasanya seperti telur.  Ditengah keasikanku berfantasi bersama nasi  kucing yang kumakan, tiba-tiba saya mendengar percakapan dua orang pemuda dengan logat khas jawa yang juga sedang asyik menikmati makanannya.  Tidak bermaksud untuk memoton kemudian aku masuk ke pembicaraan mereke dan bertanya kepada keduanya.
Aku                        : orang jawa ya?
Pemuda               : iya mas..
Aku                        : jogja?
Pemuda               : bukan, Solo mas. Katanya
Belum sempat melanjutkan pertanyaan, pemuda itu balik bertanya padaku
Pemuda               : mas baru makan di sini ya?
Aku                        : iya mas…
Pemuda               : kalo kami sering makan di sini, habis harganya murah
Aku                        : ooo.. gitu mas. Tadi kebetulan lewat karena penasaran akhirnya saya singgah..
Pemuda               : dulu waktu jama masih kuliah, sekitar tahun 2000an kalo punya uang 5000 rupiah udah   
  puas kita mas.. paling untungnya cuma di harga minumannya.
Aku                        : pantas harga minumannya mahal (dalam hati)
Setelah percakapan yang panjang, kedua pemuda itu pamit (karena memang makananya dari tadi sudah habis). Kemudian aku kembali berfantasi dengan makanan yang dari tadi menunggu untuk dihabisi. Lalu, setelah makan aku langsung menuju kasir dan menayakan harga yang harus di bayar.
Aku        : berapa mas?
Mas       : mas makan berapa bungkus nasi?
Aku        : dua mas
Mas       : 32 ribu rupiah mas (sambil mengutak atik kalkulatornya)
Aku        : ngek (dalam hati)
Inikah yang dimaksud murah oleh dua pemuda tadi yang hanya seharga 5000 rupiah waktu masih kuliah? Denga rasa tidak ikhlas kuserahkan enam lembar Imam Bonjol dan satu lembar Pangeran Antasari kepada kasir itu. Aku melihat tangan Imam Bonjol dan Pangeran Antasari melambaikan tangan yang juga tak merasa ikhlas diberikan kepada kasir itu.
Sepanjang jalan pulang, yang terpikir dibenakku adalah harga nasi kucing yang tadi telah kumakan. Sesekali aku menertawai sedikit percaya diri dan penuh kesoktahuanku makan di tempat itu. Merasa tidak ikhlaspun tidak ada gunanya karena makanan itu telah masuk ke dalam perutku, dan telah memberiku energi untuk pulang ke rumah. Bersamaan dengan itu, deru angin mammiri yang mnerpaku juga ikut menerbangkan rasa tidak ikhlasku…
17 Juni 2012
Kutulis setelah aku, sedikit kepercayaan diriku dan penuh kesoktahuanku makan di  tempat jualan nasi kucing pinggir jalan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar